
Suasana acara bedah buku ‘Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyyah Indonesia’ yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Ilmu Budaya UNPAD (Universitas Padjajaran) di Aula PBJS, Kampus UNPAD, pada Kamis (10/4/2014)
BANDUNG – Persoalan Ahmadiyah yang terus membebani umat Islam Indonesia sangat menguras energi. Dua pilihan untuk para penganut Ahmadiyah, bertaubat kepada Allah Ta’ala untuk kembali kepada jalan islam, atau memang menyatakan diri sebagai agama baru yang tidak dinisbatkan kepada islam.
“Bila Ahmadiyah memang tak menganggap tadzkirah sebagai kitab suci dan Mirza Ghulam sebagai nabi, maka tak jadi masalah. Namun bila tak demikian, maka sebaiknya Ahmadiyah membuat agama baru. Jangan mengaku sebagai bagian dari Islam!”
Pernyataan tersebut diungkapkan Ustadz Rizqi Awal, Anggota Lajnah Faaliyah HTI Sumedang tatkala menghadiri acara bedah buku ‘Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyyah Indonesia’ yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Ilmu Budaya UNPAD (Universitas Padjajaran) di Aula PBJS, Kampus UNPAD Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/4/2014)
Sementara Kunto Sofianto, P.hD, penulis yang bukunya dibedah pada kesempatan tersebut memaparkan perjalanan Ahmadiyah dalam lintasan sejarah Indonesia. “Ahmadiyah itu sudah lama ada Indonesia. Bahkan, sejak Indonesia belum merdeka Ahmadiyah sudah”, berkembang” katanya.
Pembicara lain, Dr. Ade Kosasih, Dosen Fakultas Ilmu Budaya UNPAD menuturkan, bahwa dalam menyelesaikan masalah Ahmadiyah, setiap pihak mesti bertolak pada pandangan yang komprehensif. “Tak bisa bila hanya bertolak dari kepentingan Ahmadiyah belaka”, katanya.
Dia menambahkan, “Kita memang tak bisa serampangan untuk menyesatkan paham paham tertentu. Namun, alangkah wajar bila suatu penganut agama tertentu merasa terusik bila ada pihak yang merusak keyakinan agama yang dianutnya” tuturnya.
Lewat kacamata yang berbeda, dia juga menuding, bahwa rentetan konflik yang terkait dengan Ahmadiyah bukan sekedar konflik pemahaman beragama saja. Karena bila demikian, konflik dapat selesai dengan mudah melalui dialog. “Konflik Ahmadiyah yang marak terjadi lebih karena ditunggangi oleh kepentingan kepentingan politik sesaat pihak pihak tertentu yang berkepentingan” pungkasnya. (FAM/RAP)
Post a Comment